Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien
dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya
yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi Struktur reseptor nyeri somatik dalam
meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf,
otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek,
nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate
control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat
ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat
timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri,
2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)
mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan
di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori
menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan
aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur
proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih
cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok
punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka
akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan
jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan
pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005).
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman
klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara
lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi
tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial
budaya
Respon fisiologis terhadap
nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat,
dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap
nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat
mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis,
Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan
gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi,
Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial
(Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang
perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri). Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase
pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri
diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar
tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam
fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi
terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang
yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh
nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya
mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda
tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan
individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan
berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali
pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara
teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti
itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan
nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang
atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien
mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat
menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu
memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri
berulang.
Faktor yang mempengaruhi
respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis
dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex:
tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan
tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa
parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat
subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1)
Skala intensitas nyeri deskrptif
2) Skala identitas nyeri
numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut
bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara
obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara
obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara
obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat :
Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah
tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta
untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun,
makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu
informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales,
NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi
klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata atau satu angka (Potter, 2005). Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat
membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala
deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri,
tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah
nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
Sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan
aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta
: Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan
Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa
perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan
nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.